Kenapa kita sedih atau takut mati atau berat dalam jalanin hidup?
Karena kita membaguskan dunia dan merusakkan akhirat kita. Kita lebih sibuk ngebangun dunia kita, tapi akhiratnya kita bikin rusak.
Misalkan begini, kita punya rumah, untuk pulang ke rumah itu harus naik ke jembatan dulu. Kita fokus memodifikasi dan merenovasi jembatannya dibuat indaaah bangettt, tapi rumahnya reot, bobrok, aneh gak? Kan kita gak tidur dijembatan, kita pengen pulang, masa kita hias jembatannya doank, rumahnya dibiarkan bobrok, kan aneh.
Kami menyebutnya gini ya, definisi "Laa Ilaaha Illallah" nya yang melenceng.
"Laa Ilaaha Illallah", suka didefinisikan artinya "Tiada Tuhan selain Allah". Padahal kan dalam bahasa Arab Tuhan itu Rabb. Tuhanku, Rabbi. Tuhan kami, Rabbana. Tuhan Semesta Alam, Rabbul 'Aalamiin.
Secara lugowi, Ilah itu Sesembahan. Secara makna baru meluas, termasuk salah satu penjelasannya adalah 'Apapun yang mendominasi hati manusia'. Ilah ini menentukan bahagia/menderitanya kita.
Contoh:
Dia muslim, dia sholat, tapi ketinggalan sholat gak pernah nangis, pas kehilangan jabatan nangis ngejerit-jerit. Berarti Ilah dihatinya, jabatan.
Dia muslim, dia sholat, tapi ketinggalan sholat gak pernah menyesal, pas kehilangan duit berkabungnya berbulan-bulan. Berarti Ilah dihatinya, duit.
Saking kadang, jadi lucu kan ketika ada orang tua berkata, "Gak usah lah anak saya rajin-rajin ngaji, orang gak pengen jadi ustadz kok cita-citanya, dia mah pengen jadi artis, pengen jadi pengusaha", apapun itu. Emanknya, ketika nanti itu anak udah jadi konglomerat misalkan, trus melakukan kaya di film-film azab Indosiar, ibunya dianggapnya pembantu, masih bangga gitu sama anak kayak gitu? Enggak, yahh..
Waktu,, main ke rumahnya amah (nenek), ayah saya sama ibu saya ngobrol sama cicinya (kakak perempuannya ayah (atau disebut bude)), mereka membahas sampai disuatu topik ngebahas tentang temen-temen mereka dijaman dulu, tersebutlah 1 nama yang mereka kenal sebagai orang yang paling kaya diantara lingkungan mereka dulu.
Dikasih tau sama si oom, "Ihh,, dia kan udah meninggal". "Meninggal?". "Iya, meninggalnya mengenaskan, dikosan pinggir jalan, terbengkalai, dan mayatnya hampir membusuk selama 7 hari". "Lhoh, bukannya anak-anaknya kaya semua? Konglomerat?". "Iya. Orang anak-anaknya justru yang naro ayahnya disitu". "Lhoh, kenapa?".
Ada 1 ajaran yang diajarkan si ayah kepada anak-anaknya dari dulu, dan itu masuk ke hati anak-anaknya. Dulu ayahnya, pikiran orang kaya nih, dia slalu ngajarin anaknya kayak gini, "Nak, kalo urusan sama orang gak jadi duit, gak usah kenal sama orang kayak gitu".
Itu masuk ke hati anak-anaknya. Beneran anaknya jadi orang kaya semua. Masalahnya 1, akhirnya si ayah sakit gak bisa ngelawan usia, udah gak bisa ngasilin duit bagi anak-anaknya. Anak-anaknya udah sibuk dengan ngurusin perusahaan ayahnya dan lain-lain. Yaudah, ngapain urusan sama yang gak jadi duit? Kan itu yang diajarin ayahnya. Gak ada yang mau ngurus. Akhirnya mereka kesimpulan, bukain kosan ajalah pinggir kota, 700 rebu sebulan, ntar pembantu kita tiap minggu jenguk. Pas salah satu pembantu dari anaknya ngejenguk, dia udah jadi mayat disitu, udah membusuk 7 hari, tempat sampah bergelempangan, ada genangan air kencing disitu, gak ada yang ngurus.
Dan Demi Allah ya, yang membunuh si ayah itu, itu bukan usia tua dan sakitnya, tapi perasaan dibuang oleh anak yang dulu dia bangga-banggakan.
Kaya lhoh itu, semuanya dipandang, itu anak-anaknya lhoh, kemana-mana dipanggil 'Boss', dijilat orang dikantornya, karna punya jabatan. Tapi ke orang tua kayak gitu? Masi bisa dibanggain???
Punten ya,, kita tuh, aneh..
Pengen bahagia, taunya bahagia itu dari Sang Pemberi Kebahagiaan, yaitu Allah, terus kita pengen bahagia, justru tidak dengan cara mendekat kepada Sang Pemberi Kebahagiaan, kan jadi lucu.